Lebih dari 10 juta hiu dibunuh di seluruh perairan
Indonesia setiap tahun. Belakangan, muncul gerakan kelas menengah
Indonesia yang menuntut agar spesies yang semakin langka ini
diselamatkan dari kepunahan. Ekonomi Indonesia yang tumbuh pesat melahirkan kelas menengah baru.
Kelompok sosial dengan kesadaran dan tuntutan baru: termasuk
menyelamatkan spesies yang kian langka di dunia itu.
Kelas
menengah adalah pembela utama hiu Indonesia yang semakin punah. Nicholas
Saputra, adalah aktor paling terkenal di Indonesia yang ikut dalam
kampanya menyelamatkan hiu.
Awal tahun 2013, sebuah situs berita
paling terkenal dipaksa mengubah sudut pandang laporan mereka. Berawal
dari sebuah berita di kolom bisnis berjudul “Berburu Sirip Hiu
, Bisnis
Menggiurkan”. Berita itu menyulut protes di Twitter, karena dianggap
bisa mendorong semakin maraknya perburuan hiu. Tekanan itu akhirnya
membuat berita itu diganti dengan judul “Memprihatinkan! Perburuan dan
Bisnis Sirip Hiu Masih Marak di Papua”.
Perburuan di Raja Ampat
Raja Ampat di ujung timur Indonesia adalah perairan yang dikenal
sebagai surga. Perairan jernih dan dalam yang dikelilingi gugusan pulau
itu menjadi tujuan utama para penyelam dunia yang antara lain ingin
melihat hiu yang populasinya di dunia semakin langka. Belakangan
pemerintah lokal menyatakan kawasan itu sebagai wilayah perlindungan
bagi hiu dan pari manta.
Kresna Astraatmadja adalah
field producer
dokumenter bawah laut. Selama menyelam dan mendokumentasikan Raja Ampat
di Papua Barat, dia mengaku hanya melihat satu atau dua yang melintas.
Tapi ironisnya, di darat dia melihat ratusan hiu, termasuk dari jenis
martil yang selama ini paling dia cari dalam petualangan bawah laut.
“Hiu-hiu itu masih segar, tapi sudah tidak ada siripnya,“ kata Kresna kepada
Deutsche Welle yang mengaku sejak awal mendalami
diving
ingin bertemu hiu martil. Ironisnya, dia bertemu dengan spesies langka
itu sudah tidak bersirip: mati di sekitar pantai salah satu pulau Raja
Ampat.
Di pantai di belakang gubuk, dia menemukan seratusan lebih sirip
kering dan daging hiu. Dua nelayan yang dia temui mengaku menjual sirip
hiu setiap kilogram seharga Rp 1 juta untuk yang berwarna hitam,
sementara yang ujung siripnya berwarna putih sekitar Rp 1,5 juta.
Kresna juga menemukan bangkai-bangkai hiu tanpa sirip bergelimpangan di
perairan sekitar pantai. Hiu mati itu dibiarkan beberapa saat di dalam
air, dan setelah itu akan diambil dagingnya untuk dijual seharga Rp 15
ribu per kilogram.
Sirip dan daging hiu lantas dikirim ke
Sorong, dan di sana sudah ada penadah yang siap membelinya untuk
kemudian dikirim ke Jakarta.
Pemasok utama
Perairan Indonesia adalah surga bagi hiu dan para pemburunya. Lebih dari
10 juta hiu dibunuh setiap tahun di perairan Nusantara. Indonesia
adalah pemasok utama dalam rantai bisnis yang bertanggungjawab atas
kematian 73 juta hiu di dunia setiap tahun.
Perburuan hiu di
Indonesia adalah sebuah wilayah abu-abu. Kemiskinan dan ketidaktahuan
membuat nelayan miskin terus memburu hiu. Apalagi sirip spesies ini
berani dihargai cukup mahal.
“Masalahnya permintaan (sirip
hiu-red) terus tinggi. Pasar terbesar sirip hiu sesungguhnya ada di luar
negeri,“ kata Abdul Halim, direktur kelautan
The Nature Conservancy, yang aktif dalam gerakan menyelamatkan hiu kepada
Deutsche Welle.
Terutama di beberapa negara yang memang bisa mengkonsumsi produk
biodiversitas yang eksotik, kata Halim sambil menyebut Hongkong dan
Taiwan sebagai tujuan utama ekspor diam-diam sirip hiu asal Indonesia.
Lebih mahal jika hidup
Abdul Halim mengingatkan bahwa nilai ekonomi hiu akan lebih tinggi saat hidup bebas di lautan lepas. “Sudah banyak studi yang mengindikasikan bahwa nilai hiu yang hidup
lebih mahal dibanding harga sirip jika dibunuh. Pariwisata membuat orang
membayar lebih mahal untuk melilhat mereka hidup di lautan bebas,” kata
Halim.
Pada 2011, kajian yang dilakukan
Australian Institute of Marine Science
menemukan bahwa satu hiu karang di Palau menghasilkan hampir 2 juta
dollar dari wisata eko sepanjang hidupnya. Jauh lebih mahal ketimbang
jika dia mati dan sirip hiu besar yang dijual dengan harga hanya 250
dollar per kilogram.
Tapi masalahnya kini menurut Kresna
Astraatmadja, adalah bagaimana membuat keberadaan hiu di Raja Ampat
misalnya, punya dampak ekonomi bagi para nelayan sekitar. “Biaya
wisata ke Raja Ampat itu sangat mahal. Sekali ke Raja Ampat itu
ongkosnya hampir sama seperti naik haji (sekitar Rp 30 juta). Itu semua
untuk biaya
diving, penginapan, makan dan lain-lain. Itu seharusnya ikut dinikmati penduduk setempat."
Seperti di Costa Rica kata Kresna, di mana para nelayan diajak menyelam: diberdayakan, diajari jadi
dive guide, dipekerjakan di resor-resor
,
atau industri yang menunjang wisata menyelam. Itu akan otomatis membuat
mereka berhenti bahkan akan ikut menjaga dan memperingatkan
kawan-kawannya agar jangan membunuh hiu.
sumber : http://www.dw.com/id/indonesia-surga-hiu-dan-para-pemburunya/a-16639561